Dari : Situs Alfi

Senin, 13 Mei 2013

Copas


Aku Benci Bulan

Langit malam ini terlihat begitu indah, bintang bertaburan di atas langit gelap yang membentang. Terlihat sangat indah karena tak ada bulan di atas sana. Aneh ya, tak ada bulan kok dibilang sangat indah. Padahal dengan kehadiran bulan akan membuat langit malam menjadi lebih indah. Itu pendapat kebanyakan orang, tapi tidak bagiku. Mungkin orang-orang akan mengecapku cowok aneh, cowok yang tidak romantis atau cowok apalah gara-gara aku sangat membenci bulan. Hampir seluruh orang menyukai benda langit ini yang merupakan satu-satunya satelit alami bumi. Sebenarnya dulu aku sangat menyukai bulan, apalagi jika bulan tampak membulat sempurna. Sangat indah untuk dipandang. Namun, semua kesukaanku terhadap bulan hilang seketika karena terjadinya tragedi yang sampai saat ini tak bisa aku lupakan.
***
“Pa, ayo dicepatkan saja laju mobilnya. Bulan selalu mengikuti kita nih!” kataku teriak-teriak pada papa sambil terus melongokkan kepalaku ke luar jendela mobil memandang bulan yang indah di langit.
“Sabar sayang. Lihat tuh papa sudah ngebut,” ujar mama yang duduk di sebelah papa sambil senyum-senyum melihat tingkahku.
Aku dan kedua orangtuaku sedang dalam perjalanan mengikuti arah bulan. Kami bertiga sama-sama menyukai bulan. Terlebih mama yang sangat maniak dengan satelit bumi ini. Perabot di rumahku hampir seluruhnya bergambar bulan. Malam ini saja baju yang kami kenakan bergambar bulan. Sengaja papa menyediakan waktunya malam ini buat aku dan mama. Biasanya malam-malam seperti ini papa sibuk berkutat dengan laptopnya di ruang kerja. Namun karena aku yang merengek-rengek minta keluar malam ini karena melihat langit malam begitu terang dan bulan terlihat penuh dan bercahaya begitu benderang.
“Ma, bulan mengikuti kita terus. Hebat ya, dia cepat juga menyusul.” aku berkata pada mama yang juga lagi memandangi bulan dari jendela mobil.
“Raka sayang, jika semakin jauh suatu benda, benda itu akan terlihat seperti mengikuti kita perlahan-lahan. Jarak gerak kita kecil jika dibandingkan dengan benda sebesar bulan. Jadi, bulan akan terlihat mengikuti kita ke mana pun kita pergi,” jelas papa sambil menyetir.
Tiba-tiba di depan kami ada truk besar melaju dengan sangat kencang. Papa tak sempat lagi mengelak. Hanya mampu membanting setir ke kiri namun truk itu tetap menyenggol mobil kami. Mobil menabrak pohon dan terjadilah tragedi yang menghilangkan nyawa kedua orangtuaku. Hanya aku yang selamat karena duduk di bagian tengah mobil.
Air mata membasahi pipiku jika mengingat tragedi yang terjadi 9 tahun yang lalu. Mulai dari tragedi itu hingga sekarang dan selama-lamanya aku akan membenci bulan. Orang tuaku meninggal disebabkan sedang melihat bulan yang dengan angkuhnya berdiri tegak di langit. Itu yang selalu mendominasi pikiranku tentang bulan yang menurutku dialah penyebab utama orangtuaku pergi untuk selamanya. Pokoknya aku begitu membenci bulan. Selama 9 tahun terakhir ini aku tak lagi keluar di waktu malam jika ada bulan bersinar. Melihat bulan akan membuatku bersedih dan menambah kebencianku.
***
“Cewek itu bernama Bulan, Ka. Adik tingkat kita, cantik dan manis ya.” kata Andre teman kuliahku yang menyadari sedari tadi aku memperhatikan cewek itu.
Mataku tak lepas dari Bulan yang lagi makan sambil mengobrol dengan dua orang temannya di kantin. Memang cantik, manis dan menarik. Dengan rambut lurus dan berponi indah, mata bulat, hidung bangir, bibir merah merekah, serta tingkahnya yang menggemaskan. Dia melihat ke arahku dan aku salah tingkah karena ketahuan. Dia tersenyum padaku dan aku balas senyumannya yang sangat indah. Tiba-tiba aku tersadar, menepiskan semua rasa kagum pada adik tingkatku itu. Aku tak suka dia karena bernama Bulan dan Bulan ternyata sangat menyukai bulan. Walau dia semenarik apapun, aku akan berusaha untuk menjauhinya.
Setelah pertemuan kami di kantin itu, Bulan mencoba akrab dan mendekatiku. Andre bilang Bulan menyukaiku. Tak bisa bohong aku pun juga suka dia. Tapi masalahnya dia bernama Bulan. Andre yang tahu alasanku kenapa menjauhi Bulan menceritakan yang sebenarnya kepada Bulan. Beberapa hari kemudian Bulan datang menemuiku yang lagi mengetik skripsi di perpustakaan. Dia langsung duduk di sebelahku dan mengajak bicara.
“Kak, Bulan sudah tahu semuanya. Tapi kakak egois, masa cuma gara-gara itu kakak jadi membenci Bulan juga. Bulan tahu kakak menyukai Bulan, kenapa harus menutupi perasaan itu, Kak?”
“Kamu bilang ‘cuma’? Kamu tak mengerti dan kamu tak mengalaminya, Bulan. Tahu apa kamu?” jawabku yang langsung meninggalkannya keluar perpustakaan.
***
“Halo Kak Raka. Lagi apa?” tanya Bulan dengan suaranya yang merdu di telepon.
“Lagi tiduran saja sambil dengar musik.” jawabku dengan cuek.
“Keluar sekarang ya, Kak. Bulan di depan rumah kakak. Bulan mau melihat bulan yang sangat indah di langit malam ini berdua sama kakak.”
Aku terheran-heran dengan omongan Bulan. Langsung kusibakkan tirai jendela kamarku. Benar, bulan sedang berdiri di depan rumahku dengan kepala tengadah ke atas memandangi bulan sambil tetap bicara denganku lewat handphone-nya.
“Aku tidak mau. Lagian siapa suruh kamu ke rumahku malam minggu begini dan pakai acara mengajak melihat bulan segala. Kayak anak kecil saja.”
“Ayolah, Kak. Please! Buang semua rasa benci kakak pada bulan. Kematian orangtua kakak itu bukan karena bulan. Itu kecelakaan, takdir yang sudah ditetapkan Tuhan. Bulan akan tetap menunggu kakak disini sampai kakak mau keluar!”
Aku tetap bersikukuh dengan pendirianku untuk tidak keluar.
Sudah lebih setengah jam Bulan menungguku di luar. Bulan dengan sabar menungguku sambil memperhatikan bulan di langit. Aku kasihan dengannya, ingin keluar sesuai keinginannya. Tapi egoku mengalahkan rasa kasihanku pada Bulan. Tiba-tiba terdengar suara teriakan Bulan. Aku menuju ke jendela dan melihat Bulan sudah terkapar. Dengan berlarian aku keluar rumah. Tak dapat terlukiskan perasaan sedihku ketika kulihat tubuh Bulan terkapar bersimbah darah. Mobil yang menabraknya melarikan diri. Aku dan orang-orang yang melihat kejadian itu membawa Bulan ke rumah sakit. Belum sampai di rumah sakit, Bulan telah menghembuskan napas terakhirnya.
“Bulaaaaaaaan. Maafkan aku!” aku berteriak sekencang-kencangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar